10. Memandikan mayat. Mayoritas ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa wudhu menjadi batal disebabkan seseorang memandikan mayat secara keseluruhan atau memandikan sebagiannya saja, baik mayat yang dimandikan itu kecil ataupun besar, laki-laki ataupun perempuan, Muslim ataupun kafir. Hal ini karena terdapat riwayat dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah. Telah diriwayatkan juga oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, bahwa mereka berdua menyuruh orang yang memandikan mayat supaya berwudhu. Abu Hurairah berkata, "Sekurang-kurangnya dia hendaklah berwudhu, karena biasanya tangan mereka tidak terselamat dari menyentuh kemaluan mayat.”
Mayoritas fuqaha berkata tidak ada tuntutan untuk berwudhu, karena memandikan mayat tidak terdapat nash syara’ yang menjelaskan hal tersebut. Begitu juga tidak ada sesuatu nash yang pengertiannya sama dengan masalah ini. Apalagi ia hanya sekadar memandikan seorang manusia, maka ia seperti memandikan orang yang masih hidup.
Sungguh sangat menarik catatan Ibnu Rusyd tentang tiga sebab terakhir yang membatalkan wudhu. Dia berkata, "Abu Hanifah telah bersikap ganjil apabila dia mewajibkan wudhu disebabkan tertawa (terbahak) dalam shalat dengan berdasarkan hadits mursal yang diriwayatkan Abui Aliah. Segolongan ulama juga telah bersikap ganjil apabila mereka mewajibkan wudhu disebabkan memandikan mayat berdasarkan sebuah hadits dhaif, "Barangsiapa memandikan mayat, maka hendaklah dia berwudu." Begitu juga dengan segolongan orang yang terdiri atas ahli hadits seperti Imam Ahmad, Ishaq, dan golongan yang lain yang berpendapat bahwa wudhu diwajibkan hanya karena makan daging unta (jazur), dengan berdasarkan kepada sebuah hadits yang berkaitan dengannya dari Nabi Muhammad Saw.
11. Ragu dengan adanya wudhu. Menurut satu pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki menyatakan bahwa, barangsiapa merasa yakin bahwa dirinya suci (yaitu dia yakin bahwa dia telah berwudhu) kemudian dia ragu tentang terjadinya hadats, maka dia wajib berwudhu. Begitu juga jika dia merasa yakin tentang berlakunya hadats dan ragu bahwa dirinya masih suci, maka dia wajib berwudhu. Hal ini karena beban seseorang itu sangat besar dan dia tidak akan terlepas dari beban tersebut, kecuali dengan perasaan yakin.
Jumhur ulama selain ulama madzhab Maliki mengatakan bahwa wudhu tidak akan menjadi batal dengan adanya perasaan ragu. Oleh sebab itu, barangsiapa merasa yakin dirinya telah suci dan kemudian muncul keraguan akan terjadinya hadats, atau seseorang yakin berlakunya hadats dan dia ragu kesuciannya, maka hukum yang ditetapkan pada orang tersebut hendaklah berdasarkan apa yang diyakininya. Yaitu, dia masih dalam keadaan suci dalam contoh yang pertama, dan dalam keadaan berhadats dalam contoh kedua. Hal ini karena terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Zaid. Dia berkata,
"Seorang laki-laki telah mengadu kepada Nabi Muhammad saw. bahwa dia merasa ada atau menemukan sesuatu (pada dirinya) ketika shalat. Lalu Rasul bersabda,
’Janganlah kamu berhenti shalat kecuali jika kamu mendengar bunyi atau menghirup bau”
Terlebih lagi jika muncul keraguan pada diri seseorang, maka wujudlah dua keadaan yang bertentangan. Hal ini menyebabkan kedua keadaan tersebut gugur (tidak terpakai). Kedudukannya adalah seperti dua keterangan yang bertentangan, maka kedua-duanya digugurkan, kemudian dirujuk kepada apa yang diyakini. Berdasarkan pada ketetapan ini, maka para fuqaha memutuskan satu kaidah, yaitu, "Yakin tidak dapat dihapuskan dengan keraguan.
Anda juga bisa menggunakan navigasi berdasarkan surat yang telah disediakan dibawah ini: